Monday, February 10, 2014

Lumpur Pemboran

Lumpur Pemboran

     Fluida pemboran merupakan suatu campuran (liquid) dari beberapa unsur yang terdiri dari air (air tawar atau asin), minyak, tanah liat, bahan – bahan kimia, gas, busa maupun detergen. Lumpur merupakan salah satu bagian terpenting dari sistem pemboran, atau lazim disebut “darahnya pemboran” yang berfungsi untuk membantu sistem pemutar dalam operasi pemboran sumur.

2.1. Fungsi lumpur
     Lumpur (mud) merupakan penunjang yang paling utama dari operasi pemboran dan mempunyai fungsi. Lumpur dapat menanggulangi masalah - masalah yang ada sekaligus juga menimbulkan masalah dalam operasi pemboran. Fungsi lumpur pemboran, antara lain:

2.1.1. Mendinginkan dan melumasi pahat
Karena adanya gesekan pada putaran pahat (bit) pada formasi dan rangkaian maka akan timbul panas. Disaat inilah peran dari lumpur pemboran,  panas yang timbul akan diserap secara konduksi sehingga gesekan dan panas akan berkurang.

2.1.2. Mengangkat cutting ke permukaan
Serbuk bor (Cutting) cenderung tidak terbawa oleh aliran lumpur karena adanya beda tekanan, sehingga cutting akan bertumpuk pada dasar lubang. Pencegahannya adalah mengurangi perbedaan tekanan yang terlalu tinggi dan aliran lumpur yang merata ke seluruh lubang bor sehingga serbuk bor dapat terangkat ke permukaan bersama dengan lumpur. Sifat dasar lumpur juga tidak kalah penting dalam proses pengangkatan serbuk bor, berat jenis (densitas) dan kekentalan (viskositas) harus dikendalikan sehingga dapat mengangkat serbuk bor dengan sempurna.

2.1.3. Membersihkan dasar lubang
        Lumpur mengalir melalui pipa pemboran masuk ke pahat dan keluar melalui nozzle menimbulkan daya sembur yang sangat kuat sehingga dasar lubang bersih dari serbuk bor. Dalam fungsi ini sangat dibutuhkan perhitungan gpm pompa dan kekuatan formasi.

2.1.4. Mengontrol tekanan formasi
        Mengontrol tekanan formasi merupakan hal yang sangat penting dalam operasi pemboran untuk mencegah terjadinya semburan liar (blow out) atau lost circulation. Blow out adalah berat lumpur lebih kecil dari tekanan formasi yang ada. Lost Circulation adalah kondisi dimana berat lumpur terlalu besar dari tekanan formasi sehingga lumpur masuk ke dalam formasi.

2.1.5. Menahan serbuk bor dan material pemberat saat sirkulasi dihentikan
         Kemampuan lumpur bor untuk menahan atau mengapungkan serbuk bor saat tidak ada sirkulasi tergantung pada gel strength-nya. Fungsi ini sangat dibutuhkan untuk mencegah menumpuknya serbuk bor di anulus yang akan menyebabkan rangkaian terjepit.

2.1.6. Menghantar daya hidrolika ke pahat
           Lumpur adalah media untuk menghantarkan daya hidrolika dari permukaan ke dasar lubang. Daya hidrolika lumpur harus ditentukan dalam membuat progam pengeboran sehingga laju sirkulasi dan tekanan permukaan menjadi balance sehingga dapat membersihkan lubang dan mengangkat serbuk bor.

2.1.7. Mencegah terjadinya caving dan kontaminasi pada formasi
Terjadinya kontaminasi pada formasi akan mempersulit operasi pemboran. Untuk itu sangat dihindari menggunakan lumpur yang tidak bereaksi dengan formasi. Terutama untuk formasi yang mempunyai pemeabilitas 100 – 150md. Caving terjadi pada formasi shale yang mudah menghidrasi.

2.1.8. Mencegah dan menghambat laju korosi
Gas CO2 dan H2S yang terkandung dalam formasi akan menaikan laju korosi pada peralatan pemboran dibawah permukaan. Untuk mengurangi terlarutnya gas – gas tersebut harus menjaga PH lumpur. Zat pengikat oksigen (oxygen scavenger) atau zat penghambat kerak (scale inhibitor) dapat menjadi solusi untuk menghambat laju korosi.

2.1.9. Melindungi dinding lubang bor
         Lumpur akan membuat mud cake atau lapisan padat dan tipis di permukaan formasi yang permeable. Pembentukan mud cake akan mengakibatkan aliran fulida menuju formasi tertahan. Cairan yang masuk ke formasi disebut filtrate. Mud cake diharapkan adalah tipis dan padat dengan demikian lubang bor tidak menyempit.

2.2. Sifat – sifat fisik lumpur pemboran
Agar fungsi – fungsi yang diterangkan diatas dapat berjalan dengan baik maka sifat – sifat lumpur bor harus dijaga dan diamati dengan teliti dalam setiap operasi pemboran. terdapat beberapa sifat fisik lumpur pemboran., yaitu berat jenis (density), viskositas, gel strength serta laju tapisan dll.
2.2.1. Berat jenis lumpur pemboran
Berat jenis adalah berat fluida di bagi volume pada temperature dan tekanan tertentu. Satuan atau dimensi yang dipakai adalah kg/l, gr/cc dan lb/gal.
Berat jenis lumpur harus dijaga agar dapat memberikan tekanan hidrostatik yang cukup untuk mencegah masukanya cairan formasi ke dalam lubang bor, tetapi tekanan tersebut jangan terlalu besar, karena akan formasi pecah dan lumpur akan masuk ke dalam formasi. Tekanan hidrostatik lumpur di dasar lubang akan mempengaruhi kemampatan dari pada formasi di bawahnya yang akan di bor. Semakin besar tekanan hiodrostatik lumpur maka lapisan akan semakin mampat di lapangan pengeboran pengukuran berat jenis lumpur dapat diukur dengan menggunakan mud balance.

2.2.2. Viskositas lumpur pemboran
Viskositas adalah tahanan fluida terhadap aliran atau gerakan yang disebabkan oleh adanya gesekan antara partikel pada fluida yang mengalir. Pada lumpur bor, viskositas merupakan tahanan terhadap aliran lumpur disaat dilakukan sirkulasi, hal ini dapat terjadi karena adanya pergeseran antara partikel – partikel dari lumpur bor tersebut.
Viskositas menyatakan kekentalan dari lumpur bor, dimana viskositas lumpur memegang peranan dalam pengangkatan serbuk bor makin baik. Bila lumpur tidak cukup kental maka pengangkatan serbuk bor kurang sempurna dan akan mengakibatkan serbuk bor tertinggal di dalam lubang bor.

2.2.3. Plastic viscosity           
Plastic Viscosity suatu tahanan terhadap aliran yang disebabkan oleh adanya gesekan – gesekan antara padatan di dalam lumpur, padatan cairan dan gesekan antara lapisan cairan dimana plastic viscosity merupakan hasil torsi dari pembacaan pada alat viscometer.

2.2.4. Yield point
Yield point adalah mengukur gaya elektrokimia antara padatan – padatan, cairan – cairan, cairan – padatan pada zat kimia dalam kondisi dinamis yang berhubungan dengan pola aliran, pengangkatan serpihan, kehilangan tekanan dan kontaminasi. Apparent Viscosity adalah keadaan dimana fluida non newtonian pada shear rate tertentu seolah – olah mempunyai kekentalan (viscositas) seperti pada fluida newtonian.

2.2.5. Gel strength
Gel Strength pada saat sirkulasi dihentikan maka lumpur akan menjadi gel. Hal ini disebakan adanya gaya tarik – menarik antara partikel – partikel padatan lumpur, daya inilah yang disebut gel strength. Pada saat sirkulasi berhenti lumpur harus mempunyai gel strength yang dapat menahan serbuk bor tidak jatuh ke dasar lubang. Apabila gel strength terlalu besar maka akan mengakibatkan kerja pompa terlalu berat untuk memulai kembali sirkulasi.

2.2.6. Laju tapisan
Laju tapisan lumpur pemboran terdiri dari komponen padat dan cair. Karena pada umumnya dinding lubang sumur mempunyai pori-pori, maka komponen cair dari lumpur akan masuk ke dalam dinding lubang bor. Dimana indikasi jumlah cairan yang masuk ke formasi yang tergantung pada suhu, tekanan, dan padatan yang disebut laju tapisan. Area yang terinfiltrasi lumpur disebut invaded zone sedangkan zat cair yang masuk disebut filtrate. Kegunaan laju tapisan adalah membentuk mud cake pada dinding lubang bor. Mud cake yang baik adalah yang tipis untuk mengurangi kemungkinan terjepitnya pipa bor dan kuat untuk membantu kestabilan lubang bor serta padat agar filtrate yang masuk kedalam formasi tidak terlalu berlebih. Mud cake yang tebal akan menjepit pipa pemboran sehingga sulit diangkat dan diputar sedangkan filtrate yang masuk keformasi akan merusak formasi dan dapat menimbulkan kerusakan pada formasi.          
Di dalam proses filtrasi-nya, maka laju tapisan dapat dibagi menjadi dua bagian, yaitu:
·   Statik filtrasi, merupakan filtrasi yang terjadi pada saat lumpur pada keadaan diam (tidak ada sirkulasi)
·   Dinamik filtrasi, filtrasi yang terjadi dalam keadaan ada sirkulasi dan pipa bor berputar dan harus diamati ketika proses pemboran berlangsung. Cairan yang masuk kedalam formasi pada dinding lubang bor akan menyebabkan akibat negatif, yaitu lubang bor akan runtuh, water blocking, differential sticking.
·   Dinding lubang bor akan runtuh
Bila formasi yang dimasuki oleh zat cair yang masuk tersebut adalah air, maka ikatan antara partikel formasi akan lemah, sehingga dinding lubang bor runtuh.
·   Water Blocking
Filtrat yang berupa air akan menghambat aliran minyak dari formasi ke dalam lubang sumur jika filtrate dari lumpur banyak.
·   Differential Sticking
Seiring dengan banyaknya laju tapisan maka mud cake dari lumpur akan tebal. Di waktu sirkulasi berhenti ditambah dengan berat jenis lumpur yang besar, maka drill collar akan cenderung terjepit, karena mud cake akan menahan drill collar yang terbenam di dalam mud cake. Laju tapisan yang besar dapat menyebabkan terjadinya formation damage dan lumpur akan kehilangan banyak cairan. Invasi filtrate yang masuk kedalam formasi produktif dapat menyebabkan produktivitas menurun. Perlu adanya pengaturan laju filtrasi, yaitu dengan membatasi cairan yang masuk ke dalam formasi.

2.2.7. Tebal ampas
Tebal ampas berhubungan dengan presentasi padatan, sifat kimia, dan kestabilan lumpur. Hal ini dapat menyebabkan gesekan, torsi atau terjepitnya rangkaian serta berfungsi untuk melindungi formasi dan melapisi formasi.

2.2.8. Alkanity Pf dan Mf
Sifat ini menunjukan ukuran konsentrasi dari ion OH-, ion karbonat dan ion biocarbonate yang ada dalam fasa air. Sifat ini juga menunjukan kestabilan dari sifat – sifat kimia lumpur.

2.2.9. Kesadahan total Ca2+ dan Mg2+
Sifat ini berhubungan dengan besarnya konsentrasi Ca2+ dan Mg2+ berhubangan dengan kontaminasi padatan semen. Sifat ini juga penting untuk mengetahui kesadahan air bahan dasar lumpur. Air yang mengandung banyak calcium dan magnesium digolongkan ke dalam hard water. Air ini akan berbusa dan untuk mencapai yield dan gel tertentu akan banyak memerlukan bentonite.

2.3. Sifat-sifat lumpur pemboran lainnya
Selain mempunyai sifat-sifat fisik lumpur pemboran juga mempunyai sifat-sifat lain, dimana sifat-sifat lumpur pemboran harus diatur sedemikian rupa sehingga tidak menimbulkan problem selama pemboran sedang berlangsung.


2.3.1. PH lumpur bor
PH dipakai untuk menentukan tingkat kebasaan dan keasaman dari lumpur yang dipakai, berkisar antara 9 – 12. Jadi lumpur pemboran yang digunakan adalah suasana basa. Jika lumpur yang digunakan dalam suasana asam maka serbuk bor yang keluar dari lubang bor akan halus dan hancur, sehingga tidak dapat ditentukan batuan apa yang ditembus oleh mata bor selain itu peralatan yang dilalui oleh lumpur saat sedang sirkulasi atau tidak akan mudah berkarat. Kalau lumpur bor terlalu basa terlalu basa juga tidak baik karena dapat menaikkan kekentalan dan gel strength dari lumpur.

2.3.2. Kadar pasir (Sand Content)
Yang dimaksud dengan Sand content adalah besarnya kadar pasir di dalam lumpur bor. Kadar pasir harus seminimal mungkin untuk mengurangi sifat abrasive. Pasir tidak boleh terlalu banyak dalam lumpur bor, karena dapat merusakan peralatan yang dilalui pada saat sirkulasi dan akan menaikkan berat jenis dari lumpur bor itu sendiri. Maksimal kadar pasir di dalam lumpur bor yang diperbolehkan ± adalah 2% volume.



2.3.3. Kadar garam (CI content)
Kadar garam berhubungan langsung dengan besarnya ion chloride yang terkandung di dalam lumpur bor. Kontaminasi ion chloride ini mungkin berasal dari air formasi. Kandungan Cl- ditentukan untuk mengetahui kadar garam dari lumpur akan mempengaruhi interpretasi logging  listrik atau tidak. Kadar garam yang besar akan menyebabkan daya hantarnya besar pula. Pembacaan resestivity dari cairan formasi akan terpengaruh.

2.3.4. Fasa padatan-cairan (Solid content)
Solid content adalah kandungan padatan di dalam lumpur pemboran. Padatan tidak boleh terlalu banyak yang terkandung di dalam lumpur pemboran karena dapat menimbulkan masalah – masalah di dalam pemboran. Kandungan padatan yang baik di dalam lumpur sekitar 8% - 12% volume lumpur. Untuk menentukan kandungan padatan di dalam lumpur digunakan alat Mud Retort.

2.4. Karakteristik yang mempengaruhi sifat fisik lumpur pemboran
Sebelum membuat lumpur pemboran yang baik, terlebih dahulu harus memperkirakan keadaan dan kondisi dari formasi yang akan ditembus. Ada beberapa yang dapat mempengaruhi sifat lumpur pemboran, yaitu :
     1. Suhu formasi
     2. Tekanan formasi
     3. Kandungan clay dan garam

2.4.1. Suhu formasi
Semakin dalam formasi yang akan ditembus maka suhu formasi juga semakin meningkat. Dengan meningkatnya suhu formasi tersebut akan mempengaruhi keseimbangan dari fluida pemboran.
Pada saat lumpur dalam keadaan diam, maka semakin bertambah tinggi suhunya akan semakin tinggi juga daya untuk menjadi gel dan penggumpalan gel dalam batas tertentu dapat diatasi dengan mengaduk lumpur hingga encer kembali.

2.4.2. Tekanan formasi
Sebelum menentukan jenis fluida pemboran apa yang digunakan, maka kita harus mengetahui sekurang – kurangnya memperkirakan tekanan formasi terlebih dahulu. Hal ini bertujuan untuk menentukan densitas fluida pemboran yang diperbolehkan.
Densitas fluida pemboran didapat dari tekanan formasi ditambah dengan faktor keamanan (safety factor) yang telah ditentukan sehingga fluida pemboran tersebut cukup mampu menahan tekanan formasi.
Untuk formasi yang bertekanan rendah digunakan berat jenis rendah, sehingga tekanan hidrostatis lumpurnya rendah, jika digunakan dengan berat jenis besar maka akan menyebabkan formasi pecah dan kehilangan sirkulasi.

2.4.3. Kandungan clay dan garam
Pada formasi yang mengandung clay dimana secara terus -  menerus akan menghisap air sehingga mengembang dan gugur ke lubang akan menimbulkan problem pipa terjepit. Untuk formasi yang mengandung garam kuat atau lapisan – lapisan garam serta adanya abondant salt water yang berada di daerah payau atau lokasi pengeboran on-shore atau off-shore, dianjurkan menggunakan salt water mud atau oil in water emulsion dalam operasi pemboran. Pemakaian lumpur ini akan memperlihatkan mud cake yang tebal dan filtration loss yang besar jika tidak ditambah organik koloid dan pembuihan yang terjadi dapat dikurangi dengan penambahan surfactant ke dalam sistem lumpur.






2.5. Macam – macam kontaminasi

2.5.1. Padatan pemboran
Padatan pemboran terdiri dari padatan aktif dan padatan in-aktif. Padatan aktif misalnya clay dan padatan in-aktif misalnya silt, sand, limestone, chaert.

2.5.2. Evaporit salt
Jenis kontaminasi ini ada beberapa macam yaitu sodium chloride (NaCl), potassium chloride (KCI), calcium chloride(CaCl2), magnesium chloride (MgCl2), dan anhydrite (CaSO4). Namun yang paling umum terjadi adalah kontaminan garam (NaCl), anhydrite, dan gypsum. Sodium chloride yang mengkontaminasi lumpur pemboran biasanya terjadi pemboran menembus salt dome, lapisan batuan garam, evaporate, dan lapisan – lapisan lainnyayang mengandung garam, sedangkan anhydrite dan gypsum terdapat pada suatu batuan keras atau batuan antara formasi shale dan limestone.





2.5.3. Formasi water influk
Air formasi yang masuk dalam sistem lumpur juga berpengaruh pada sifat fisik lumpur pemboran yang berarti juga berpengaruh pada keberhasilan fungsi lumpur pemboran.

2.6. Pengaruh kontaminasi terhadap lumpur pemboran
Kontaminan dapat berubah secara langsung maupun tidak langsung pada sistem lumpur pemboran yang digunakan. Kontaminasi yang masuk dalam sistem lumpur dapat merubah sifat fisik lumpur pemboran, menurunkan kinerja lumpur pemboran yang akhirnya dapat menimbulkan masalah pemboran.

2.7. Bahan – bahan adiktif lumpur pemboran
Di dalam suatu sistem lumpur terdapat material – material tambahan yang berfungsi mengontrol dan memperbaiki sifat – sifat lumpur agar sesuai dengan keadaan dan kondisi formasi yang dihadapi selama operasi pemboran. Berikut ini adalah beberapa bahan kimia yang berguna untuk menaikkan berat jenis lumpur, menaikkan viskositas, menurukan viskositas, dan menurunkan filtration loss dan sebagainya.



2.7.1. Bahan pemberat (Weighting agent)
Bahan pemberat digunakan untuk menaikkan densitas lumpur. Bahan yang paling umum digunakan adalah barite dan kalsium karbonat, serta hematite untuk berat jenis (densitas) tinggi.

2.7.1.1. Viscosifier
Viscosifier adalah bahan yang digunakan untuk menaikkan kekentalan (viskositas) yang biasanya mempunyai fungsi sekunder sebagai fluid loss reducer. Ada dua macam viscofier, antara lain :
1.      Tipe mineral clay, misalnya bentonite
2.      Tipe polimer, misalnya XCD polimer dan Guar Gum polimer

2.7.1.2. Fluid loss reducer
Bahan ini berguna untuk menurunkan fluid loss dan hampir semua bahannya berfungsi juga seperti viscosifier misalnya CMC dan PAC. Sedangkan yang berfungsi sebagai thinner adalah lignit. Penggunaan formulasi yang menggunakan polimer hendaknya memperhatikan suhu, karena pada umumnya jenis – jenis polimer tidak tahan terhadap suhu tinggi.

2.7.1.3. Shale stabilizer
Bahan ini berfungsi untuk menstabilkan formasi shale agar tidak gugur ke dalam lubang bor.

2.7.1.4. Pola coating
Prinsip kerja pada pola ini yaitu bahan kimia tambahan (aditif) akan menyelimuti partikel – partikel dari shale, sehingga kontak dengan fluida dapat dikurangi dengan demikian kemungkinan terjadinya reaksi antara shale dengan lumpur dapat dikurangi.

2.7.1.5. Pola chosa
Pada pola ini yaitu menggunakan garam –garam terlarut untuk mengadsorbsi air dari dalam shale.

2.7.1.6. Suhu stabilizer
Bahan ini berfungsi untuk mengontrol rheologi lumpur pada suhu tinggi, karena pada suhu tinggi lumpur biasanya akan mengalami gelation, yaitu naiknya viskositas lumpur jauh diatas normal.



2.7.1.7. Garam – garam elektrolit
Garam adalah komponen utama dalam pembuatan fluida komplesi dan work-over. Disamping itu dalam jumlah tertentu juga sering dicampurkan ke dalam sistem pemboran. Garam -  garam yang sering digunakan antara lain KCl, NaCl, dan CaCl2.

2.8. Mineral clay
Terdapat beberapa mineral yang berperan sebagai pembentuk clay antara lain:
1.      Montmorillonite
Monmorillonite yang mempunyai rumus kimia [(OH)4Si8O20xH2O] terdiri dari tiga lapisan struktur, satu buah struktur alumina octahedral dan dua buah struktur silica tetrahedral yang merupakan Si4O10  ikatan ini tidak dapat dipisahkan dari kandungan O2-nya secara langsung.
2.      Kaolonite
Kaolonite terdiri dari dua lapisan struktur, satu lapisan SIOP4 dan alumunium hidrosil dengan ruangan yang sangat rapat tidak seperti pada montmorillonite. Pertukarannya ion silica alumina oleh elemen tidak diperlukan.


3.      Illite
Illite hidrous mika memiliki pola dasar seperti montmorillonite, kecuali kation K+ yang mempunyai posisi air antara pola lapisan. Illite lebih komplek karena adanya pertukaran ion K+ yang berlebihan pada air, sehingga tidak menunjukkan adanya sifat pengembangan.
4.      Chlorite         
Struktur octahedral layer tunggal memberikan keseimbangan muatan terhadap ketiga layer lainnya. Sehingga struktur clay yang terjadi bersifat netral. Tidak ada kesempatan untuk terjadinya pertukaran ion, sehingga clay jenis ini tidak memiliki sifat swelling.

2.9. Lumpur polimer
Lumpur polimer adalah sistem lumpur dimana proses pengeringan (hidrasi) dari formasi shale yang ditembus diusahakan stabil. Ada beberapa cara untuk mencapai hal tersebut, yang paling umum adalah membatasi jumlah air yang bereaksi dengan clay, dengan cara menyelimuti serbuk bor (cutting) clay ini dengan polimer sesegera mungkin untuk rekasi lebih lanjut. Non Dispersed Polymer terdiri dari anionic dan nonionic polymer. Sistem ini harus punya polymer yang cukup dalam lumpur untuk pembungkusan clay dan mineral lain untuk mengatasi hilangnya polymer ini oleh solid control system.
Biasanya kegagalan dalam pemakaian lumpur polimer adalah karena tidak mampu untuk menjaga low gravity solid, yang disebabkan kurang baiknya peralatan solid control yang digunakan. Kegagalan lain juga biasanya disebabkan karena tidak cukup tersedianya polimer dalam sistem atau karena filtrat chemistry tidak terjaga dengan baik.

2.10. Lumpur KCL polimer
Lumpur KCL polimer merupakan sistem lumpur yang paling umum digunakan dalam pemboran. Dasar dari sistem ini adalah anionic pengkapsulan (encapsulating) polymer fluid yaitu polymer membungkus serbuk bor (cutting) pada saat pembersihan lubang.
KCL dalam air akan terurai menjadi ion k+ dan Cl-. Dalam menstabilkan mineral shale, ion – ion k+ akan menggantikan kedudukan ion Na+. Sehingga di dalam plate shale ion k+ akan terikat jauh lebih kuat dibandingkan antara ion Na+ dengan plate clay antara clay dengan air, sehingga daya tolak – menolak antara partikel plate clay di dalam air akan berkurang. Semakin kuat daya tarik menarik antar clay maka akan semakin banyak air yang terbebas antara clay ke luar sistem. Hal ini disebabkan karena adanya ion k+ memiliki jari – jari atom yang besar, yang dapat menutup microfracture shale dan mencegah masuknya air ke dalam microfracture sehingga mengurangi pengeringan (hidrasi) shale.
Polimer mudah larut dalam lumpur yang mengandung elektrolit dan adanya muatan negatif pada bagian yang terhidrolisa sehingga meningkatkan daya rekat dan absorpsi polimer. Dalam upaya mengurangi swelling shale, maka tergantung dari konsentrasi KCL dan polimer yang digunakan di dalam suatu sistem lumpur. Jumlah ion k+ yang dibutuhkan di dalam luimpur tergantung dari tipe clay atau shale yang akan di bor yaitu termasuk reaktif atau tidak reaktif terhadap air. Semakin reaktif maka konsentrasi dari kcl dan polimer harus dinaikkan. Konsentrasi KCL optimum yang digunakan adalah 3% yaitu sebesar 10.5 gr dan fungsi dari KCL ini dibantu dengan bahan kimia tambahan (aditive) pengontrol shale.




1 comment:

  1. Sangat bermanfaat bagi saya yang sedang mendalami lumpur pengeboran

    ReplyDelete