Lumpur Pemboran
Fluida pemboran merupakan suatu campuran (liquid)
dari beberapa unsur yang terdiri dari air (air tawar atau asin), minyak, tanah
liat, bahan – bahan kimia, gas, busa maupun detergen. Lumpur merupakan salah
satu bagian terpenting dari sistem pemboran, atau lazim disebut “darahnya
pemboran” yang berfungsi untuk membantu sistem pemutar dalam operasi pemboran
sumur.
2.1. Fungsi lumpur
Lumpur (mud) merupakan penunjang yang
paling utama dari operasi pemboran dan mempunyai fungsi. Lumpur dapat
menanggulangi masalah - masalah yang ada sekaligus juga menimbulkan masalah
dalam operasi pemboran. Fungsi lumpur pemboran, antara lain:
2.1.1. Mendinginkan dan melumasi pahat
Karena
adanya gesekan pada putaran pahat (bit) pada formasi dan rangkaian maka akan
timbul panas. Disaat inilah peran dari lumpur pemboran, panas yang timbul akan diserap secara konduksi
sehingga gesekan dan panas akan berkurang.
2.1.2. Mengangkat cutting ke permukaan
Serbuk
bor (Cutting) cenderung tidak terbawa oleh aliran lumpur karena adanya beda
tekanan, sehingga cutting akan bertumpuk pada dasar lubang. Pencegahannya
adalah mengurangi perbedaan tekanan yang terlalu tinggi dan aliran lumpur yang
merata ke seluruh lubang bor sehingga serbuk bor dapat terangkat ke permukaan
bersama dengan lumpur. Sifat dasar lumpur juga
tidak kalah penting dalam proses pengangkatan serbuk bor, berat jenis (densitas)
dan kekentalan (viskositas) harus dikendalikan sehingga dapat mengangkat serbuk
bor dengan sempurna.
2.1.3. Membersihkan dasar lubang
Lumpur mengalir melalui pipa pemboran
masuk ke pahat dan keluar melalui nozzle
menimbulkan daya sembur yang sangat kuat sehingga dasar lubang bersih dari
serbuk bor. Dalam fungsi ini sangat dibutuhkan perhitungan gpm pompa dan kekuatan formasi.
2.1.4. Mengontrol tekanan formasi
Mengontrol tekanan formasi merupakan hal
yang sangat penting dalam operasi pemboran untuk mencegah terjadinya semburan
liar (blow out) atau lost circulation. Blow
out adalah berat lumpur lebih kecil dari tekanan formasi yang ada. Lost Circulation adalah kondisi dimana
berat lumpur terlalu besar dari tekanan formasi sehingga lumpur masuk ke dalam
formasi.
2.1.5. Menahan serbuk bor dan material
pemberat saat sirkulasi dihentikan
Kemampuan lumpur bor untuk menahan atau
mengapungkan serbuk bor saat tidak ada sirkulasi tergantung pada gel strength-nya. Fungsi ini sangat dibutuhkan
untuk mencegah menumpuknya serbuk bor di anulus yang akan menyebabkan rangkaian
terjepit.
2.1.6. Menghantar daya hidrolika ke pahat
Lumpur adalah media untuk
menghantarkan daya hidrolika dari permukaan ke dasar lubang. Daya hidrolika
lumpur harus ditentukan dalam membuat progam pengeboran sehingga laju sirkulasi
dan tekanan permukaan menjadi balance sehingga dapat membersihkan lubang dan
mengangkat serbuk bor.
2.1.7. Mencegah terjadinya caving dan
kontaminasi pada formasi
Terjadinya
kontaminasi pada formasi akan mempersulit operasi pemboran. Untuk itu sangat dihindari
menggunakan lumpur yang tidak bereaksi dengan formasi. Terutama untuk formasi
yang mempunyai pemeabilitas 100 – 150md. Caving
terjadi pada formasi shale yang mudah menghidrasi.
2.1.8. Mencegah dan menghambat laju
korosi
Gas CO2
dan H2S yang terkandung dalam formasi akan menaikan laju korosi pada
peralatan pemboran dibawah permukaan. Untuk mengurangi terlarutnya gas – gas
tersebut harus menjaga PH lumpur. Zat
pengikat oksigen (oxygen scavenger) atau zat penghambat kerak (scale inhibitor)
dapat menjadi solusi untuk menghambat laju korosi.
2.1.9. Melindungi dinding lubang bor
Lumpur akan membuat mud cake atau lapisan padat dan tipis di
permukaan formasi yang permeable.
Pembentukan mud cake akan
mengakibatkan aliran fulida menuju formasi tertahan. Cairan yang masuk ke
formasi disebut filtrate. Mud cake diharapkan adalah tipis dan
padat dengan demikian lubang bor tidak menyempit.
2.2.
Sifat – sifat fisik lumpur pemboran
Agar
fungsi – fungsi yang diterangkan diatas dapat berjalan dengan baik maka sifat –
sifat lumpur bor harus dijaga dan diamati dengan teliti dalam setiap operasi
pemboran. terdapat beberapa sifat fisik lumpur pemboran., yaitu berat jenis (density),
viskositas, gel strength serta laju tapisan dll.
2.2.1.
Berat jenis lumpur pemboran
Berat
jenis adalah berat fluida di bagi volume
pada temperature dan tekanan tertentu. Satuan atau dimensi yang dipakai adalah
kg/l, gr/cc dan lb/gal.
Berat
jenis lumpur harus dijaga agar dapat memberikan tekanan hidrostatik yang cukup
untuk mencegah masukanya cairan formasi ke dalam lubang bor, tetapi tekanan
tersebut jangan terlalu besar, karena akan formasi pecah dan lumpur akan masuk
ke dalam formasi. Tekanan hidrostatik lumpur di dasar lubang akan mempengaruhi
kemampatan dari pada formasi di bawahnya yang akan di bor. Semakin besar
tekanan hiodrostatik lumpur maka lapisan akan semakin mampat di lapangan
pengeboran pengukuran berat jenis lumpur dapat diukur dengan menggunakan mud balance.
2.2.2. Viskositas lumpur pemboran
Viskositas
adalah tahanan fluida terhadap aliran atau gerakan yang disebabkan oleh adanya
gesekan antara partikel pada fluida yang mengalir. Pada lumpur bor, viskositas merupakan tahanan terhadap
aliran lumpur disaat dilakukan sirkulasi, hal ini dapat terjadi karena adanya
pergeseran antara partikel – partikel dari lumpur bor tersebut.
Viskositas
menyatakan kekentalan dari lumpur bor, dimana viskositas lumpur memegang peranan dalam pengangkatan serbuk bor
makin baik. Bila lumpur tidak cukup kental maka pengangkatan serbuk bor kurang
sempurna dan akan mengakibatkan serbuk bor tertinggal di dalam lubang bor.
2.2.3. Plastic
viscosity
Plastic
Viscosity suatu
tahanan terhadap aliran yang disebabkan oleh adanya gesekan – gesekan antara
padatan di dalam lumpur, padatan cairan dan gesekan antara lapisan cairan dimana plastic viscosity merupakan hasil torsi dari pembacaan pada alat viscometer.
2.2.4. Yield point
Yield point adalah mengukur gaya elektrokimia
antara padatan – padatan, cairan – cairan, cairan – padatan pada zat kimia
dalam kondisi dinamis yang berhubungan dengan pola aliran, pengangkatan serpihan,
kehilangan tekanan dan kontaminasi. Apparent
Viscosity adalah keadaan dimana fluida non
newtonian pada shear rate tertentu seolah – olah mempunyai kekentalan (viscositas)
seperti pada fluida newtonian.
2.2.5. Gel
strength
Gel Strength pada saat sirkulasi dihentikan
maka lumpur akan menjadi gel. Hal ini
disebakan adanya gaya tarik – menarik antara partikel – partikel padatan
lumpur, daya inilah yang disebut gel
strength. Pada saat sirkulasi berhenti lumpur harus mempunyai gel strength
yang dapat menahan serbuk bor tidak jatuh ke dasar lubang. Apabila gel strength
terlalu besar maka akan mengakibatkan kerja pompa terlalu berat untuk memulai
kembali sirkulasi.
2.2.6. Laju tapisan
Laju tapisan lumpur
pemboran terdiri dari komponen padat dan cair. Karena pada umumnya dinding
lubang sumur mempunyai pori-pori, maka komponen cair dari lumpur akan masuk ke
dalam dinding lubang bor. Dimana indikasi jumlah cairan yang masuk ke formasi
yang tergantung pada suhu, tekanan, dan padatan yang disebut laju tapisan. Area
yang terinfiltrasi lumpur disebut invaded
zone sedangkan zat cair yang masuk disebut filtrate. Kegunaan laju tapisan adalah membentuk mud cake pada
dinding lubang bor. Mud cake yang
baik adalah yang tipis untuk mengurangi kemungkinan terjepitnya pipa bor dan
kuat untuk membantu kestabilan lubang bor serta padat agar filtrate yang masuk
kedalam formasi tidak terlalu berlebih. Mud
cake yang tebal akan menjepit pipa pemboran sehingga sulit diangkat dan
diputar sedangkan filtrate yang masuk
keformasi akan merusak formasi dan dapat menimbulkan kerusakan pada
formasi.
Di dalam
proses filtrasi-nya, maka laju
tapisan dapat dibagi menjadi dua bagian, yaitu:
·
Statik
filtrasi, merupakan filtrasi yang terjadi pada saat lumpur pada keadaan diam
(tidak ada sirkulasi)
·
Dinamik
filtrasi, filtrasi yang terjadi dalam keadaan ada sirkulasi dan pipa bor
berputar dan harus diamati ketika proses pemboran berlangsung. Cairan yang
masuk kedalam formasi pada dinding lubang bor akan menyebabkan akibat negatif, yaitu lubang bor akan
runtuh, water blocking, differential sticking.
·
Dinding
lubang bor akan runtuh
Bila formasi yang dimasuki oleh
zat cair yang masuk tersebut adalah air, maka ikatan antara partikel formasi
akan lemah, sehingga dinding lubang bor runtuh.
·
Water
Blocking
Filtrat yang berupa air akan
menghambat aliran minyak dari formasi ke dalam lubang sumur jika filtrate dari lumpur banyak.
·
Differential
Sticking
Seiring dengan banyaknya laju
tapisan maka mud cake dari lumpur
akan tebal. Di waktu sirkulasi berhenti ditambah dengan berat jenis lumpur yang
besar, maka drill collar akan
cenderung terjepit, karena mud cake akan menahan drill collar yang terbenam di
dalam mud cake. Laju tapisan yang besar dapat menyebabkan terjadinya formation damage dan lumpur akan kehilangan banyak cairan. Invasi filtrate yang masuk kedalam formasi
produktif dapat menyebabkan produktivitas menurun. Perlu adanya pengaturan laju
filtrasi, yaitu dengan membatasi
cairan yang masuk ke dalam formasi.
2.2.7. Tebal
ampas
Tebal
ampas berhubungan dengan presentasi padatan, sifat kimia, dan kestabilan lumpur.
Hal ini dapat menyebabkan gesekan, torsi atau terjepitnya rangkaian serta
berfungsi untuk melindungi formasi dan melapisi formasi.
2.2.8. Alkanity
Pf dan Mf
Sifat ini
menunjukan ukuran konsentrasi dari ion
OH-, ion karbonat dan ion biocarbonate yang ada dalam fasa
air. Sifat ini juga menunjukan kestabilan dari sifat – sifat kimia lumpur.
2.2.9. Kesadahan
total Ca2+ dan Mg2+
Sifat ini
berhubungan dengan besarnya konsentrasi Ca2+ dan Mg2+ berhubangan dengan
kontaminasi padatan semen. Sifat ini juga penting untuk mengetahui kesadahan
air bahan dasar lumpur. Air yang mengandung banyak calcium dan magnesium
digolongkan ke dalam hard water. Air
ini akan berbusa dan untuk mencapai yield
dan gel tertentu akan banyak
memerlukan bentonite.
2.3.
Sifat-sifat lumpur pemboran lainnya
Selain
mempunyai sifat-sifat fisik lumpur pemboran juga mempunyai sifat-sifat lain,
dimana sifat-sifat lumpur pemboran harus diatur sedemikian rupa sehingga tidak
menimbulkan problem selama pemboran sedang berlangsung.
2.3.1. PH lumpur bor
PH
dipakai untuk menentukan tingkat kebasaan dan keasaman dari lumpur yang
dipakai, berkisar antara 9 – 12. Jadi lumpur pemboran yang digunakan adalah
suasana basa. Jika lumpur yang digunakan dalam suasana asam maka serbuk bor
yang keluar dari lubang bor akan halus dan hancur, sehingga tidak dapat
ditentukan batuan apa yang ditembus oleh mata bor selain itu peralatan yang
dilalui oleh lumpur saat sedang sirkulasi atau tidak akan mudah berkarat. Kalau
lumpur bor terlalu basa terlalu basa juga tidak baik karena dapat menaikkan kekentalan
dan gel strength dari lumpur.
2.3.2. Kadar pasir (Sand Content)
Yang
dimaksud dengan Sand content adalah
besarnya kadar pasir di dalam lumpur bor. Kadar pasir harus seminimal mungkin
untuk mengurangi sifat abrasive. Pasir
tidak boleh terlalu banyak dalam lumpur bor, karena dapat merusakan peralatan
yang dilalui pada saat sirkulasi dan akan menaikkan berat jenis dari lumpur bor
itu sendiri. Maksimal kadar pasir di dalam lumpur bor yang diperbolehkan ± adalah
2% volume.
2.3.3. Kadar garam (CI content)
Kadar
garam berhubungan langsung dengan besarnya ion
chloride yang terkandung di dalam lumpur bor. Kontaminasi ion chloride ini mungkin berasal dari
air formasi. Kandungan Cl- ditentukan untuk mengetahui kadar garam
dari lumpur akan mempengaruhi interpretasi logging
listrik atau tidak. Kadar garam yang
besar akan menyebabkan daya hantarnya besar pula. Pembacaan resestivity dari cairan formasi akan
terpengaruh.
2.3.4. Fasa padatan-cairan (Solid content)
Solid content adalah kandungan padatan di dalam lumpur pemboran.
Padatan tidak boleh terlalu banyak yang terkandung di dalam lumpur pemboran
karena dapat menimbulkan masalah – masalah di dalam pemboran. Kandungan padatan
yang baik di dalam lumpur sekitar 8% - 12% volume lumpur. Untuk menentukan
kandungan padatan di dalam lumpur digunakan alat Mud Retort.
2.4.
Karakteristik yang mempengaruhi sifat fisik lumpur pemboran
Sebelum
membuat lumpur pemboran yang baik, terlebih dahulu harus memperkirakan keadaan
dan kondisi dari formasi yang akan ditembus. Ada beberapa yang dapat
mempengaruhi sifat lumpur pemboran, yaitu :
1. Suhu formasi
2. Tekanan formasi
3. Kandungan clay dan garam
2.4.1. Suhu formasi
Semakin
dalam formasi yang akan ditembus maka suhu formasi juga semakin meningkat. Dengan
meningkatnya suhu formasi tersebut akan mempengaruhi keseimbangan dari fluida
pemboran.
Pada saat
lumpur dalam keadaan diam, maka semakin bertambah tinggi suhunya akan semakin
tinggi juga daya untuk menjadi gel dan
penggumpalan gel dalam batas tertentu
dapat diatasi dengan mengaduk lumpur hingga encer kembali.
2.4.2. Tekanan formasi
Sebelum
menentukan jenis fluida pemboran apa yang digunakan, maka kita harus mengetahui
sekurang – kurangnya memperkirakan tekanan formasi terlebih dahulu. Hal ini
bertujuan untuk menentukan densitas fluida pemboran yang diperbolehkan.
Densitas
fluida pemboran didapat dari tekanan formasi ditambah dengan faktor keamanan (safety
factor) yang telah ditentukan sehingga fluida pemboran tersebut cukup mampu
menahan tekanan formasi.
Untuk
formasi yang bertekanan rendah digunakan berat jenis rendah, sehingga tekanan hidrostatis lumpurnya rendah, jika
digunakan dengan berat jenis besar maka akan menyebabkan formasi pecah dan kehilangan
sirkulasi.
2.4.3. Kandungan
clay dan garam
Pada
formasi yang mengandung clay dimana secara terus - menerus akan menghisap air sehingga
mengembang dan gugur ke lubang akan menimbulkan problem pipa terjepit. Untuk
formasi yang mengandung garam kuat atau lapisan – lapisan garam serta adanya abondant salt water yang berada di
daerah payau atau lokasi pengeboran on-shore
atau off-shore, dianjurkan
menggunakan salt water mud atau oil in water emulsion dalam operasi
pemboran. Pemakaian lumpur ini akan memperlihatkan mud cake yang tebal dan filtration
loss yang besar jika tidak ditambah organik koloid dan pembuihan yang terjadi dapat dikurangi dengan penambahan
surfactant ke dalam sistem lumpur.
2.5.
Macam – macam kontaminasi
2.5.1. Padatan pemboran
Padatan
pemboran terdiri dari padatan aktif dan padatan in-aktif. Padatan aktif
misalnya clay dan padatan in-aktif misalnya silt,
sand, limestone, chaert.
2.5.2. Evaporit salt
Jenis
kontaminasi ini ada beberapa macam yaitu sodium
chloride (NaCl), potassium chloride
(KCI), calcium chloride(CaCl2),
magnesium chloride (MgCl2),
dan anhydrite (CaSO4).
Namun yang paling umum terjadi adalah kontaminan garam (NaCl), anhydrite, dan gypsum. Sodium chloride yang mengkontaminasi lumpur pemboran biasanya
terjadi pemboran menembus salt dome,
lapisan batuan garam, evaporate, dan
lapisan – lapisan lainnyayang mengandung garam, sedangkan anhydrite dan gypsum terdapat
pada suatu batuan keras atau batuan antara formasi shale dan limestone.
2.5.3. Formasi water influk
Air
formasi yang masuk dalam sistem lumpur juga berpengaruh pada sifat fisik lumpur
pemboran yang berarti juga berpengaruh pada keberhasilan fungsi lumpur
pemboran.
2.6. Pengaruh kontaminasi terhadap lumpur
pemboran
Kontaminan
dapat berubah secara langsung maupun tidak langsung pada sistem lumpur pemboran
yang digunakan. Kontaminasi yang masuk dalam sistem lumpur dapat merubah sifat
fisik lumpur pemboran, menurunkan kinerja lumpur pemboran yang akhirnya dapat
menimbulkan masalah pemboran.
2.7. Bahan – bahan adiktif lumpur pemboran
Di dalam
suatu sistem lumpur terdapat material – material tambahan yang berfungsi
mengontrol dan memperbaiki sifat – sifat lumpur agar sesuai dengan keadaan dan
kondisi formasi yang dihadapi selama operasi pemboran. Berikut ini adalah
beberapa bahan kimia yang berguna untuk menaikkan berat jenis lumpur, menaikkan
viskositas, menurukan viskositas, dan menurunkan filtration loss dan sebagainya.
2.7.1. Bahan pemberat (Weighting agent)
Bahan
pemberat digunakan untuk menaikkan densitas lumpur. Bahan yang paling umum
digunakan adalah barite dan kalsium karbonat, serta hematite untuk berat jenis (densitas)
tinggi.
2.7.1.1. Viscosifier
Viscosifier
adalah bahan yang digunakan untuk menaikkan kekentalan (viskositas) yang
biasanya mempunyai fungsi sekunder sebagai fluid
loss reducer. Ada dua macam viscofier,
antara lain :
1.
Tipe
mineral clay, misalnya bentonite
2.
Tipe
polimer, misalnya XCD polimer dan Guar Gum polimer
2.7.1.2. Fluid
loss reducer
Bahan ini
berguna untuk menurunkan fluid loss dan
hampir semua bahannya berfungsi juga seperti viscosifier misalnya CMC
dan PAC. Sedangkan yang berfungsi
sebagai thinner adalah lignit. Penggunaan formulasi yang menggunakan polimer hendaknya memperhatikan suhu,
karena pada umumnya jenis – jenis polimer
tidak tahan terhadap suhu tinggi.
2.7.1.3. Shale stabilizer
Bahan ini
berfungsi untuk menstabilkan formasi shale
agar tidak gugur ke dalam lubang bor.
2.7.1.4. Pola
coating
Prinsip
kerja pada pola ini yaitu bahan kimia tambahan (aditif) akan menyelimuti
partikel – partikel dari shale,
sehingga kontak dengan fluida dapat dikurangi dengan demikian kemungkinan
terjadinya reaksi antara shale dengan
lumpur dapat dikurangi.
2.7.1.5. Pola
chosa
Pada pola
ini yaitu menggunakan garam –garam terlarut untuk mengadsorbsi air dari dalam shale.
2.7.1.6. Suhu
stabilizer
Bahan ini
berfungsi untuk mengontrol rheologi
lumpur pada suhu tinggi, karena pada suhu tinggi lumpur biasanya akan mengalami
gelation, yaitu naiknya viskositas lumpur jauh diatas normal.
2.7.1.7. Garam
– garam elektrolit
Garam
adalah komponen utama dalam pembuatan fluida komplesi dan work-over. Disamping itu dalam jumlah tertentu juga sering
dicampurkan ke dalam sistem pemboran. Garam -
garam yang sering digunakan antara lain KCl, NaCl, dan CaCl2.
2.8.
Mineral clay
Terdapat
beberapa mineral yang berperan sebagai pembentuk clay antara lain:
1.
Montmorillonite
Monmorillonite yang mempunyai rumus kimia [(OH)4Si8O20xH2O]
terdiri dari tiga lapisan struktur, satu buah struktur alumina octahedral dan
dua buah struktur silica tetrahedral yang
merupakan Si4O10 ikatan ini tidak dapat dipisahkan dari
kandungan O2-nya secara
langsung.
2.
Kaolonite
Kaolonite
terdiri dari dua lapisan struktur, satu lapisan SIOP4 dan alumunium hidrosil
dengan ruangan yang sangat rapat tidak seperti pada montmorillonite. Pertukarannya ion
silica alumina oleh elemen tidak diperlukan.
3.
Illite
Illite hidrous mika memiliki pola dasar seperti montmorillonite, kecuali kation K+ yang
mempunyai posisi air antara pola lapisan. Illite
lebih komplek karena adanya pertukaran ion K+ yang berlebihan pada air,
sehingga tidak menunjukkan adanya sifat pengembangan.
4.
Chlorite
Struktur octahedral layer tunggal memberikan
keseimbangan muatan terhadap ketiga layer lainnya. Sehingga struktur clay yang terjadi bersifat netral. Tidak
ada kesempatan untuk terjadinya pertukaran ion, sehingga clay jenis ini tidak memiliki sifat swelling.
2.9.
Lumpur polimer
Lumpur
polimer adalah sistem lumpur dimana proses pengeringan (hidrasi) dari formasi shale yang ditembus diusahakan stabil.
Ada beberapa cara untuk mencapai hal tersebut, yang paling umum adalah
membatasi jumlah air yang bereaksi dengan clay,
dengan cara menyelimuti serbuk bor (cutting) clay ini dengan polimer sesegera
mungkin untuk rekasi lebih lanjut. Non
Dispersed Polymer terdiri dari anionic
dan nonionic polymer. Sistem ini
harus punya polymer yang cukup dalam lumpur untuk pembungkusan clay dan mineral lain untuk mengatasi
hilangnya polymer ini oleh solid control system.
Biasanya
kegagalan dalam pemakaian lumpur polimer adalah karena tidak mampu untuk
menjaga low gravity solid, yang
disebabkan kurang baiknya peralatan solid control yang digunakan. Kegagalan
lain juga biasanya disebabkan karena tidak cukup tersedianya polimer dalam sistem atau karena filtrat chemistry tidak terjaga dengan
baik.
2.10.
Lumpur KCL polimer
Lumpur
KCL polimer merupakan sistem lumpur
yang paling umum digunakan dalam pemboran. Dasar dari sistem ini adalah anionic
pengkapsulan (encapsulating) polymer
fluid yaitu polymer membungkus
serbuk bor (cutting) pada saat pembersihan lubang.
KCL
dalam air akan terurai menjadi ion k+ dan Cl-. Dalam menstabilkan mineral
shale, ion – ion k+ akan menggantikan kedudukan ion Na+. Sehingga di dalam plate shale ion k+ akan terikat jauh
lebih kuat dibandingkan antara ion Na+ dengan plate clay antara clay dengan air, sehingga daya tolak – menolak
antara partikel plate clay di dalam
air akan berkurang. Semakin kuat daya tarik menarik antar clay maka akan
semakin banyak air yang terbebas antara clay ke luar sistem. Hal ini disebabkan
karena adanya ion k+ memiliki jari – jari atom yang besar, yang dapat menutup microfracture shale dan mencegah
masuknya air ke dalam microfracture sehingga mengurangi pengeringan (hidrasi)
shale.
Polimer
mudah larut dalam lumpur yang mengandung elektrolit dan adanya muatan negatif
pada bagian yang terhidrolisa sehingga meningkatkan daya rekat dan absorpsi
polimer. Dalam upaya mengurangi swelling
shale, maka tergantung dari konsentrasi KCL dan polimer yang digunakan di dalam
suatu sistem lumpur. Jumlah ion k+ yang dibutuhkan di dalam luimpur tergantung
dari tipe clay atau shale yang akan di bor yaitu termasuk reaktif atau tidak
reaktif terhadap air. Semakin reaktif maka konsentrasi dari kcl dan polimer
harus dinaikkan. Konsentrasi KCL optimum yang digunakan adalah 3% yaitu sebesar
10.5 gr dan fungsi dari KCL ini dibantu dengan bahan kimia tambahan (aditive)
pengontrol shale.
Sangat bermanfaat bagi saya yang sedang mendalami lumpur pengeboran
ReplyDelete